Menggantikan Kata Kafir, Menjadikan Ajaran Islam Kian Tersingkir

Ammylia Rostikasari, S.S.
(Komunitas Penulis Bela Islam)

Hati siapa yang tak terusik, saat kata kafir mencoba dipermasalahkan. Dalam Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama dan Konferensi Besar (Konbes) Nahdlatul Ulama di Pondok Pesantren Miftahul Huda Al-Azhar Citangkolo, Kota Banjar, Rabu-Jumat (27/2-1/3/2019) salah satunya mengangkat masalah status non-Muslim dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Bahtsul Masail Maudluiyah memutuskan tidak menggunakan kata kafir bagi non-Muslim di Indonesia (Kompas.com/1/2/2019).

Dalam bahasan tersebut istilah non Muslim dinilai lebih berterima dibandingkan penggunaan kata kafir. Hak demikian diharapkan agar masyarakat Indonesia dapat hidup lebih rukun berdampingan walau dengan agama yang beragam.

Sontak keputusan tersebut menuai kritikan tajam dari beberapa politisi, ulama juga tokoh masyarakat. Fahri Hamzah berkomentar pedas saat menyikapi masalah ini. Ia menyatakan bahwa Kata 'Kafir' itu istilah dalam kitab Suci, gak bisa diamandemen, itu wahyu Ilahi. Tapi, jika ada kata kafir dalam konstitusi dan UU, mari kita amandemen, itu buatan manusia. Kenapa yang jadi korban hanya agama Islam?
Kenapa Alquran yang dipersoalkan?

Susah banget mau jadi orang Islam (wartakotalive.com/2/3/2019).

Namun, MUI berupaya meredam karena menganggap penggantian tersebut hanya berlaku dalam ranah bernegara tidak akan masuk pada ranah beragama.

Jika istilah non-Muslim dianggap lebih dinilai berterima dibandingkan kata kafir. Mengapa lagi-lagi bagian dari ajaran Islam yang diusik?

Padahal kata kafir bagi mereka yang berada di luar Islam. Sungguh lebih baik dari pada istilah yang digunakan oleh agama lain. Misal, umat Kristen menyebut mereka yang di luar agamanya sebagai The Lost Sheep (domba yang tersesat) dalam Matius 15:24. Sementara orang Yahudi dalam menyebut Goyim (yang merupakan sifat binatang buas) bagi mereka yang berada di luar agamanya (Baba Mezia 114b). Maka, hanya Islam yang memberi penghormatan bagi mereka yang beragama di luar Islam. Karena menganggap mereka sebagai manusia.

Dengan dalih kekerasan teologis, sampai-sampai kata kafir yang tersurat dalam kalamullaah, disebut lebih dari 390 kali dipaksa untuk digantikan. Namun jika merunut ke belakang, rezim ini dengan viralnya menyematkan kata radikal, intoleran juga anti-NKRI pada Kaum Muslim taat syariah Islam, bukankah itu nyata sebagai kekerasan ideologis?

Inilah logika jungkir balik ala demokrasi dan sekularisme. Paham yang mendewakan kebebasan dan mendepak ajaran agama dari negara dan kehidupan. Kebijakan-kebijakannya penuh dengan kepentingan yang mengdiskreditkan Islam.

Ini sungguh kontras dengan kondisi saat Islam diterapkan dalam sebuah intitusi negara yang disebut dengan Daulah Islamiyah dan Daulah Khilafah Islamiyah. Saat akal sehat digunakan untuk memahami wahyu Allah. Logika manusia dibimbing, kebijakannya dituntun  kalamullaah dan Sunah Rasulullaah saw. Islam mampu memuliakan penganutnya dan kaum kafir yang mau tunduk patuh di bawah penerapan syariat-Nya. Tak ada yang merasa menjadi korban kekerasan teologis sebab mereka yang di luar Islam mengetahui dengan benar sebaik-baik makna kafir.

Akan lebih arif lagi jika mereka yang mengasumsikan kata kafir sebagai kekerasan teologis untuk mau merenungi firman Allah Ta’ala dalam Surat At-Taubah [9] ayat 9 yang artinya :

“Mereka menukarkan ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit, lalu mereka menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka kerjakan.”
Wallahu’alam bishowab

Previous Post Next Post