Dibalik Kata "Kafir"

Penulis : Ummu Qonita

Seperti ramai diberitakan beberapa media, perihal Sidang Komisi Bahtsul Mudluiyyah Munas Alim Ulama dan konferensi Besar NU yang dilaksanakan pada Kamis 28 Februari 2019, bahwa NU menyarankan agar warga negara yang beragama non Islam tak lagi disebut kafir. Mereka menilai kafir ini mengandung unsur kekerasan teologis. Dan sebagai pengganti kata kafir gunakan kata muwathinun atau warga negara.

Setali tiga uang, Sekjen PDIP Hasto Kristianto mendukung keputusan Munas Alim Ulama. Seperti yang dilansir Republika.co.id, Hasto mengatakan keputusan itu penting untuk penghormatan terhadap prinsip kesetaraan warga negara Indonesia sebagai satu bangsa. Dia pun mengatakan "Keputusan Alim Ulama semakin memperkuat upaya Presiden Jokowi untuk menggelorakan daya unggul Indonesia uang maju dan berbangsa satu". Di tahun 2016 pun, situs online NU sudah pernah menayangkan bahwa istilah kafir tidak relevan untuk saat ini. 

Kata kafir secara harfiah diambil dari kafaro-yakfuru-kufr[an]-kafir, yang berarti jahada-yajhqdu-juhud[an]-jahid (menolak). Istilah kafir adalah istilah syariah, dengan konotasi yang khas. Allah SWT berfirman: 

"Siapa saya yang mengingkari Allah, para malaikatnya, kitab-kitabnya, para Rasul-Nya, serta hari akhir benar-benar telah tersesat sejauh-jauhnya (QS an-Nisa :136)
Karna itu siapa saja yang tidak meyakini rukun iman berdasarkan ayat ini disebut kafir bukan muslim.
Allah SWT berfirman :

"Sungguh telah kafir orang yang menyatakan Allah itu adalah tiga oknum dalam satu (substansi). (QS al-Maidah:73)

"Sungguh telah menjadi kafir, orang yang menyatakan bahwa Allah itu adalah al-Masih putra Maryam (QS al-Maidah:17). 

Kedua ayat ini menyatakan kekafiran orang Kristen yang meyakini ketuhanan Allah, Ruh Kudus dan Isa Al-Masih, karna itu berdasarkan ayat ini orang Kristen disebut kafir. Al-Qur'an juga menyebutkan kekufuran orang Yahudi (At-taubah:30). Al-Qur'an juga yang memberikan label kafir kepada orang-orang Yahudi dan Nasrani atau ahlul kitab (QS Al-bayyinah:1). 

Dalam kitab Mu'jam Lughah Al-Fuqaha karya Prof Rawwas Qal'ah Jie, disebutkan 
"Kafir adalah siapa saja yang tidak beriman kepada Allah SWT dan kepada Nabi Muhammad SAW atau siapa saja yang mengingkari ajaran apapun yang diketahui secara pasti berasal dari Islam ( seperti wajibnya salat, haramnya zina dan lain-lain), atau yang merendahkan kedudukan Allah dan risalah Islam" (man laa yu'mini billahi wa laa bi Muhammadin rosulillah aw man yunkira aa huma ma'lumun minal islami aw yantaqishu min maqaamillah ta'ala awal arrisalah(Rawwas Qal'ah Jie, Mu'jam Lughah AlFuqahah, hal 268). 

Kata kafir ramai diperbincangkan ketika menjelang Pilkada 2017 saat itu Ahok yang sebelumnya menjadi Wakil Gubernur DKI mencalonkan diri menjadi Cagub DKI. Ahok adalah seorang non muslim. Dan beredar video viral Mahasiswa UI Boby Febri yang mengangkat tema tolak pemimpin kafir. Akhir dari semua itu adalah gagalnya Ahok menjadi Gubernur DKI. 

Kaum muslimin sejak dahulu sudah memahami bahwa sebutan kafir adalah ditujukan untuk mereka yang bukan beragama Islam. Lantas mengapa baru saat ini ada sekelompok orang yang mempermasalahkan sebutan kafir?

Mengutip video dari ustad Bahtiar Natsir, beliau mengatakan bahwa hal ini pernah terjadi di negara Mesir, ada kelompok Liberal Mesir, Fahmi Waydi membuat buku berjudul Muwathinun Lamadziyyun, sebut mereka warga negaranya sendiri, jangan sebut karir dzimmi, ujung dari semua ini adalah karna sesama warga negara boleh dong jadi pemimpin, maka siapapun boleh menjadi pemimpin karna sesama warga negara, dengan demikian Al Kaidah :51 tidak dipake lagi, karna sesama warga ".

Hal yang sama kini terjadi di Indonesia, istilah- istilah yang berasal dari Alquran maknanya dikaburkan bahkan dimonsterisasi, seperti kata jihad, syariah, khilafah dan kini kata kafir. Dibelakang semua ini ada Kelompok Islam Liberal yang lebih dikenal dengan sebutan JIL (Jaringan Islam Liberal ). Mereka berusaha untuk mengobok-obok dan menciderai pemahaman Islam kaum muslim yang sesuai Al-Qur'an Sunnah Ijma Sahabat dan Qiyas menjadi seperti yang diinginkan Barat, yang moderat, yang bebas. Indonesia adalah negeri yang menggunakan sistem Demokrasi Kapitalisme, yang asasnya sekularisme (memisahkan agama dari kehidupan) maka, pemahaman/ide-ide liberal dapat dengan mudah masuk. 

Salah satu faktor yang menyebabkan kemunduran Khilafah Islamiyyah adalah buruknya pemahaman Islam. Pasca diruntuhkannya Khilafah Islamiyyah di Turki 3 Maret 1924, negeri kaum Muslim dilanda Sepilis (Sekularisme, Pluralisme dan Liberalisme). Ini adalah upaya Barat untuk menghadang kebangkitan Islam di negeri kaum Muslim, termasuk Indonesia. 

Barat memahami bahwa umat islam perlahan namun pasti akan menemukan kembali "Rumah Mereka", maka mereka berusaha untuk terus memundurkan upaya kembalinya "Rumah Mereka" dengan berbagai cara. 

Beginilah keadaan negeri dengan sistem yang rusak, umat Islam akan terus dibombardir dengan pemahaman rusak yang jauh dari Islam. Maka dakwah Islam Kaffah harus terus dimasifkan. Para Ulama, Habaib,  Kiai, Muballig, Da'i, Ustadz, Asatidzah  dan kaum Muslim yang masih lurus pemahaman Islamnya harus senantiasa memdakwahkan, mengedukasi umat, agar pemahaman/pemikiran umat Islam tetap lurus.

Maka, perjuangan untuk menegakan  "Rumah Mereka", rumah kaum Muslimin yaitu sistem kekhilafahan menjadi sebuah kewajiban bagi setiap Muslim untuk mewujudkannya, agar kaum muslim terjaga iman Islam dan ketakwaannya... 
Wallahu'alam bisshowab.
Previous Post Next Post