Valentine Budaya Perusak Generasi Muslim

Penulis : Sriyanti
Pemerhati Sosial
Ibu rumah tangga tinggal di Bandung


Sudah menjadi rahasia umum bahwa peringatan hari kasih sayang (valentine day) banyak disalahgunakan oleh pasangan kekasih atau bukan pasangan sah, untuk berbuat mesum bahkan berujung pada perzinaan.

Di Jombang dan Mojokerto, banyak pasangan yang memilih merayakannya dengan berkencan di hotel hingga akhirnya ditangkap Polisi.

Rabu (13/2/2019) malam hingga kamis (14/2/2019) dini hari jajaran Polres Jombang mengamankan pasangan bukan suami istri. Mereka diamankan polisi saat asyik merayakan malam valentine di dalam kamar hotel.

Sementara di Kota Mojokerto, petugas Satpol PP dan kepolisian juga melakukan razia rumah kost, tempat karauke dan hotel. Hasilnya, petugas menemukan sepasang kekasih yang sedang berbuat mesum di salah satu hotel (Jatim.Sindonews.com).

Miris sekali mendapati kejadian-kejadian tersebut justru terjadi juga di negeri mayoritas muslim. Meski nasihat, imbauan para ulama, ustadz, ustadzah tentang valentine sering didengungkan, tapi masih banyak para remaja dan orang tua yang masih berpemahaman salah tentang valentine's day, itu hanya dianggap budaya remaja modern yang tidak berkonsekuensi apa-apa. Padahal sejatinya ada bahaya luar biasa besar di balik itu yang siap menerkam para remaja dan pelaku lainnya yang tidak disadari.

Cikal bakal perayaan valentine sebenarnya memiliki beberapa versi, namun semuanya bermuara pada fakta bahwa ia merupakan bagian dari ritualitas masyarakat penganut kepercayaan paganisme.

Sebelum masa kekristenan, masyarakat Yunani dan Romawi  beragama pagan yakni menyembah banyak Tuhan (paganis-polytheisme). Mereka memiliki perayaan/pesta yang biasa dilakukan pada pertengahan Bulan Februari yang sudah menjadi tradisi budaya mereka. Dan kala itu gereja menyebut mereka sebagai kaum kafir.

Di zaman Athena Kuno, ritual tersebut disebut sebagai rangkaian ritual Bulan Gamelion yang diyakini sebagai masa menikahnya Dewa Zeus dan Hera. Sedangkan di zaman Romawi Kuno, disebut hari raya Lupercalia sebagai peringatan terhadap Dewa Lupercus, dewa kesuburan yang digambarkan sebagai dewa yang setengah telanjang dengan pakaian dari kulit domba.

Perayaan ini berlangsung dari tanggal 13 hingga 18 Februari, yang berpuncak pada tanggal 15. Dua  hari pertama (13-14 Februari) dipersembahkan untuk Dewi Cinta (Queen of Feverish Love) Juno Februata. Di masa ini ada kebiasaan yang digandrungi yang disebut sebagai love lottery/lotre pasangan, di mana para wanita muda memasukkan nama mereka dalam sebuah bejana kemudian para pria mengambil satu nama dalam bejana tersebut yang kemudian akan menjadi kekasihnya dan bisa melakukan kemesraan bahkan hingga layaknya suami istri selama festival berlangsung.

Seiring dengan invasi tentara Roma, tradisi ini menyebar dengan cepat ke hampir seluruh Eropa. Hal ini menjadi penyebab sulitnya penyebaran Agama Kristen yang saat itu tergolong sebagai agama baru di Eropa. Sehingga untuk menarik jemaat masuk ke gereja maka diadopsilah perayaan kafir pagan ini dengan memberi kemasan kekristenan.

Paus Gelasius I pada tahun 469 M mengubah upacara Roma Kuno Lupercalia ini menjadi Saint Valentine's Day. Ini adalah upaya Gelasius menyebarkan Agama Kristen melalui budaya setempat. Menggantikan posisi dewa-dewa pagan dan mengambil St Valentino sebagai sosok suci lambang cinta. Ini adalah bentuk sinkretisme agama, mencampuradukkan budaya pagan dalam tradisi kristen. Dan akhirnya diresmikanlah Hari Valentine oleh Paus Gelasius pada 14 Februari di tahun 498 M.

Anggapan saat itu bahwa akan jauh lebih mudah mengubah keyakinan masyarakat setempat jika mereka dibiarkan merayakan perayaan di hari yang sama hanya saja diubah ideologinya. Umat kristen meyakini St Valentino sebagai pejuang cinta kasih. Melalui kelihaian misionaris, valentine’s day dimasyarakatkan secara internasional.

Maka jelaslah, hari valentine sesungguhnya berasal dari tradisi masyarakat di zaman Romawi Kuno, masyarakat kafir yang menyembah banyak Tuhan juga berhala. Dan hingga kini Gereja Katholik sendiri tidak bisa menyepakati siapa sesungguhnya St Valentino. Meskipun demikian perayaan ini juga dirayakan secara resmi di Gereja Whitefriar Street Carmelite di Dublin-Irlandia.

Sementara di Indonesia valentine’s day disebut Hari Kasih Sayang, disimbolkan dengan kata ‘love’. Padahal kalau kita mau jeli, kata ‘kasih sayang’ dalam bahasa inggris bukan ‘love’ tetapi ‘affection’. Tapi mengapa di negeri-negeri muslim seperti Indonesia dan Malaysia,  menggunakan istilah Hari Kasih Sayang. Terdapat penyesatan makna ‘love’ yang sesungguhnya adalah sebagaimana sejarah Gamelion dan Lupercalia pada masa masyarakat penyembah berhala, yakni sebuah ritual seks/perkawinan. Jadi valentine’s day memang tidak memperingati kasih sayang tapi memperingati love/cinta dalam arti seks. Atau dengan bahasa lain, valentine’s day adalah harinya seks bebas, dimana dalam pandangan Islam terkategori zina yang termasuk perkara haram dan dosa besar ketika dilakukan.

Lebih jauh Islam memandang bahwa segala sesuatu yang merupakan produk kebudayaan asing yang berasal dari hadharah (peradaban) di luar Islam maka wajib ditolak, dan valentine day jelas-jelas merupakan budaya kaum pagan yang tentu sangat bertentangan dengan nilai dan aturan Islam. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw,

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ  

Artinya: Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka ia akan digolongkan sebagai kaum tersebut. (HR Abu Daud)

Namun dalam kondisi saat ini di mana sistem yang tengah berlaku adalah kapitalis demokratis dengan pilar utama liberalisme dan sekulerisme budaya asing semacam valentine day tidak dianggap sesuatu yang berbahaya justru diterima secara hangat oleh masyarakat dan pemerintah dalam hal ini sebagai pengurus yang semestinya memberi edukasi dan perlindungan bagi rakyatnya malah membiarkan dan menutup mata terhadap budaya sesat dan kufur tumbuh demikian subur. Sungguh demikian tampak bahwa rezim telah gagal mewujudkan generasi bangsa yang beriman dan  bertaqwa kepada al-Khaliq yang akan menjamin kesejahteraan dan kebahagiaan setiap manusia di dunia hingga akhirat.

Maka dari itu, sudah merupakan kewajiban kita semua untuk menolak setiap produk kebiasaan dan pemikiran kufur dalam rangka menyelamatkan generasi muslim dari kerusakan dan kebejatan moral.

Caranya tidak lain adalah semua elemen umat bersatu padu mendakwahkan Islam secara massif, menyadarkan masyarakat agar mau menjadikan Islam sebagai aturan hidup yang bukan hanya mengatur aspek ritualitas mahdhah semata, melainkan mengatur seluruh aspek kehidupan, yang akan menghantarkan pada ridha-Nya.

Selain hal di atas dibutuhkan peran negara dalam upaya menjaga generasi dari kerusakan Aqidah dan kerusakan lainnya. Dan harapan umat hanya dapat ditambatkan pada  pemerintahan yang benar-benar menjadikan asas aqidah Islam dan menegakkan aturan Allah secara menyeluruh yang akan mengkebiri setiap apa yang berpotensi merusak umat dari berbagai sisi.

Negara yang dibingkai dalam Sistem Islam warisan Rasulullah Saw yang telah terbukti selama berabad-abad berhasil mengukir peradaban cemerlang yaitu Negara Khilafah 'ala minhaj an-nubuwwah.

Waalahu a'lam bi ash shawab.

Post a Comment

Previous Post Next Post