Ulama, Dimanakah Suaramu?

Penulis : Yanyan Supiyanti A.Md
(Praktisi Pendidikan dan Member Akademi Menulis Kreatif)

Baginda Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, menyebut ulama sebagai para pewaris nabi (waratsat al-anbiya'). Yang diwarisi adalah ilmu (pengetahuan) tentang hakikat hidup, baik hidup di dunia maupun hidup di akhirat. Hal ini sebagaimana disampaikan sendiri oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:
"Sesungguhnya ulama adalah pewaris nabi. Sungguh para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham. Sungguh mereka hanya mewarisi ilmu. Barangsiapa mengambil warisan tersebut, ia telah mengambil bagian yang banyak." (HR at-Tirmidzi, Ahmad, ad-Darimi dan Abu Dawud).

Pada jumat, 1 Februari 2019, di Pondok Pesantren Al-Anwar, Rembang, Presiden Joko Widodo alias Jokowi menghadiri acara Sarang Berzikir untuk Indonesia Maju. Kehadiran calon presiden inkumben di acara tersebut beredar dalam video yang viral di media sosial.

Dalam video tersebut, seorang ulama, yakni Kiai Maimun Zubair membacakan doa penutup pada akhir acara. Ulama yang akrab disapa Mbah Moen itu duduk di sebelah Jokowi dan membacakan doa yang di dalamnya menyebut nama calon presiden nomor urut 02, Prabowo Subianto. Kemudian , Maimun dihampiri oleh Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan, Muhammad Romahurmuziy alias Romi usai membacakan doa. Setelah itu, Maimun kembali berdoa seperti meralat ucapannya sebelumnya. (Tempo.co, 2/2/2019).

Demokrasi meniscayakan perolehan suara metode mencapai kekuasaan, rentan menghalalkan segala cara. Ulama dalam demokrasi rentan alat legitimasi kekuasaan menjelang pemilu dan mengeluarkan kebijakan.

Hakikat ulama adalah penjaga ilmu (pengetahuan). Selama ulama ada, selama itu pula dunia ini akan selalu disinari oleh pelita. Dengan itu manusia akan selalu mendapat petunjuk dan tidak akan salah dalam melangkahkan kakinya. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Sesungguhnya ulama di bumi adalah seperti bintang-bintang di langit yang memberi petunjuk di dalam kegelapan bumi dan laut. Apabila dia terbenam, maka jalan akan tampak kabur." (HR Ahmad).

Sebaliknya, saat ulama tidak ada lagi, hilanglah pelita bagi dunia ini. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dengan mencabutnya (secara langsung) dari hamba-hamba. Akan tetapi Dia mencabut ilmu dengan mewafatkan para ulama. Jika Allah tidak menyisakan seorang alim pun maka orang-orang mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh. Kemudian mereka ditanya, mereka pun berfatwa tanpa dasar ilmu. Mereka sesat dan menyesatkan." (HR al-Bukhari dan Muslim).

Peran ulama dalam Islam sebagai pihak yang terdepan melakukan muhasabah kepada penguasa, ketika penguasa menyimpang dari jalan Islam. Ulama tidak boleh bersikap lemah. Ulama harus terus melakukan koreksi hingga penguasa tunduk dan berjalan kembali di atas Islam.

Ketika ulama berdiam diri terhadap penyimpangan penguasa, niscaya kerusakan menyebar luas di tengah-tengah masyarakat. Bahkan jika penyimpangan penguasa dibiarkan berlarut-larut, kekuasaan yang seharusnya melindungi Islam bisa berubah menjadi penghancur Islam. Ini seperti kekuasaan yang ada di negeri-negeri Islam saat ini.

Kerusakan masyarakat disebabkan oleh kerusakan penguasa. Kerusakan penguasa disebabkan kerusakan ulama. Imam al-Ghazali mengatakan:
"Rusaknya rakyat disebabkan karena rusaknya penguasa. Rusaknya penguasa disebabkan karena rusaknya ulama. Rusaknya ulama disebabkan karena dikuasai cinta harta dan ketenaran (Al-Ghazali, Ihya' 'Ulum ad-Din, 2/357).

Ulama adalah pewaris nabi yang bertugas menjaga kesucian Islam dan melindungi kepentingan umat Islam. Tugas ini akan berjalan sempurna ketika mereka memberikan loyalitas hanya pada Islam. Tidak silau oleh gemerlap dunia. Tidak pernah gentar menghadapi kebengisan penguasa.
Wallahu a'lam bi ash-shawab.[]
Previous Post Next Post