Aku Wartawan


Penulis : Saiful Guci

Diwaktu SMP tahun 1976 saya adalah penjaja koran di Pekan Baru. Cita cita waktu itu adalah bagaimana menjadi seorang penulis dan wartawan. Sebagaimana yang ditulis Saiful Guci dalam ciloteh tanpa suara, dalam rangka peringatan Hari Pers Nasional yang dipusatkan di Padang. 

Mantan wartawan bernama Saiful Guci pernah menulis pertama kalinya sebagai wartawan koran masuk desa Singgalang di bulan Februari 1990 berjudul "Pria Berseragam Merampok di Pangkalan" itu judul yang diberikan almarhum Pak Syahruddin Said kala itu. 

Banyak yang menyangka menjadi wartawan atau disebut sebagai jurnalis itu sangat senang, bisa mewancarai para pejabat , jalan beriringi dengan Presiden,  Gubernur dan Bupati dan makan minum bersama , sering terlihat akrab bercengkrama di warung-warung kawa daun.

Namun setelah dialami ternyata nasib sebagai wartawan sangat miris sekali. Mereka yang berstatus pekerja tak tetap seperti kontributor, koresponden, maupun stringer yang belum dihargai maksimal oleh perusahaan medianya.

Upahnya hanya dibayar per berita, lebih buruk dari buruh alih daya alias outsourcing yang masih digaji bulanan dan jaminan kesehatan.

Pangkat yang paling rendah di dunia jurnalistis adalah Kontributor berita . Mereka hanya dikasih surat tugas atau kartu pers, kemudian disuruh cari berita tanpa perlindungan sosial.

Sebagian lagi bekerja tanpa ikatan kontrak yang jelas dan di upah murah Rp.20.000 sd Rp. 30.000,- per berita .

Ironi memang, wartawan pekerja yang menyuarakan penderitaan rakyat, tapi hidupnya masih menderita.

Meskipun identik sebagai corong publik, namun wartawan nyaris tak mampu menjadi corong untuk dirinya sendiri.

Nasib wartawan memang menyedihkan sebab meskipun memiliki nilai berita, namun ia tidak pernah muncul sebagai sebuah berita di surat kabar dan media online tempat mereka mengirim berita.

Berbicara soal kompetensi wartawan tentu tidak bisa dilepaskan dari kesejahteraan wartawan itu sendiri bagaimana mungkin menuntut wartawan untuk memiliki wawasan luas, jika upah yang diterima hanya ‘cukup’ untuk memenuhi kebutuhan hidup?.

Darimana sumber dana lain agar ia dapat mengakses barang sekunder semacam buku yang diasumsikan mampu memperlebar horizon wartawan? Peningkatan kapasitas wartawan sendiri jelas-jelas tidak bisa dilakukan, jika untuk wilayah perut saja wartawan masih harus ber-akrobat.

Wartawan bekerja tidak mengenal waktu, apalagi wartawan yang koresponden Koran harian kalau pekerja lain bekerja delapan jam sehari untuk lima hari kerja atau tujuh jam untuk enam hari kerja tetapi nasib sebagai wartawan jam kerjanya bisa lebih.

Duduk dua jam dihadapan Lap Top dengan perut keroncongan dan kadang kadang hanya ditemani sebungkus rokok selesai berita terkirim baru rasa senang menyelimuti mereka, walaupun dinginnya hari dan keroncongan perut berpacu dalam melodi.

Beda dengan pejabat, tak ada bensin kendaraannya tinggal isi dan bonnya kantor yang bayar. Sementara wartawan kontributor dalam mengejar berita tak ada perusahaan yang memberikan bahan bakar untuk operasionalnya.

Nasib wartawan yang berani mengkritik pemerintah tentang keadilan dan memperjuangan nasib rakyat yang tertindas dan beritanya dapat membuat tersenyum pimpinan medianya, karena oplahnya naik.

Namun nasib wartawan tidaklah berbanding lurus dengan berita serta kenaikan oplah Koran yang membuat tersenyum pimpinan, tetapi sang wartawan menerima perlakuan yang tidaklah elok, dicaci, dikejar dan tendang dan bahkan dikeroyok ramai ramai serta ada yang sampai meninggal.

Nasib wartawan, sebuah keinginan yang belum kesampain, yaitu membawa keluarga untuk refresing keluar daerah, jalan bersama istri dan anak-anak dengan dana yang diberikan oleh perusahaan media tempat mereka bekerja sebagai hadiah karena bekerja siang malam mencari dan memburu target berita sehingga mengirim berita dapat melampaui target oplah meningkat.

Iklan dan pariwara banyak tetapi tak dibayar oleh yang memasang iklan dan pembuat pariwara , pimpinan media mulai curiga … Miris memang !

“Menjadi jurnalis panggilan jiwanya profesi yang membuka matanya tentang realitas sosial, dan hal-hal terjadi di masyarakat serta memungkinkannya mengaktualisasi diri setiap saat.

Dulu hari wartawan diperingati membicarakan nasib wartawan..... 
Kini hari pers,  pertemuan para pejabat yang wartawannya di undang dan naik mobil wisata.  Ul/impian
Previous Post Next Post