N3 Limapuluh Kota - Persoalan
sengketa tanah ulayat atau tanah adat di nagari yang bermuara ke dalam ranah
hukum perdata, dinilai menjadi kasus yang kerap terjadi di dalam kehidupan
bermasyarakat. Hal tersebut menjadi perhatian para pemangku adat dan
pemerintah, mengingat angka sengketa tanah ulayat/adat secara perdata semakin
meningkat setiap tahunnya.
"Perlu kita perhatikan
bersama, apa yang menjadi sebab-akibat, serta langkah-langkah apa yang dapat
menekan angka sengketa tanah adat di daerah kita," kata Wakil Bupati
Ferizal Ridwan, saat menjadi pembicara utama dalam kegiatan Pelatihan
Penyelesaian Sengketa Tanah Adat yang digelar oleh KAN dan Pemerintah Nagari
Mungka, Rabu (18/10) siang.
Selain Wabup serta puluhan orang
niniak mamak/pemangku adat yang tergabung dalam Kerapatan Adat Nagari (KAN)
se-kenagarian Mungka, pelatihan yang digelar di Gedung Serbaguna Nagari itu
juga dipandu langsung oleh utusan dari Badan Pertanahan Nasional (BPN)
Limapuluh Kota. Tak ketinggalan Wali Nagari Mungka, H Irfan, Ketua KAN Heripal
Dt Lelo serta para tokoh masyarakat.
Wabup Ferizal menjelaskan, sejak
dulu hingga kini persoalan sengketa tanah adat menjadi persoalan yang kompleks
sekaligus 'rahasia umum' di tengah masyarakat. Menurutnya, kasus-kasus sengketa
tanah adat, diduga banyak terjadi karena kurang sinkronnya hukum adat dengan UU
Perdata, sehingga penyelesaiannya cenderung menjadi kontra produktif.
Disini, perananan niniak mamak
selaku pemimpin kaum di dalam nagari dibutuhkan terutama dalam hal pengawasan
serta wadah buat memediasi sengketa, seperti antara anak- kemenakan. Jangan
sampai, persoalan tanah ulayat, yang sedianya dapat diselesaikan secara hukum
adat, bermuara ke ranah hukum Perdata di pengadilan.
"Kemudian, seperti kita
ketahui di dalam ketentuan UU nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria. Disana dijelaskan, bahwa pemerintah baik pemerintah daerah
maupun nagari, sebenarnya memiliki kewenangan dalam penyelesaian konflik tanah adat,"
sebut Ferizal.
Pemerintah, lanjutnya, juga wajib
memetakan serta mendata batas-batas atau status tanah adat sebelum menetapkan
status pemanfaatan di dalam wilayahnya. Apalagi, tahun lalu (2016) pemerintah
pusat sudah mengeluarkan kebijakan melalui PP Nomor 9 Tahun 2016 tentang
Percepatan Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta.
Seperti halnya tanah adat yang
berstatus 'harato pusako tinggi' dan 'harato pusoko rondah'. Jika harato pusako
tinggi, katanya, secara hukum adat, itu tidak boleh dijual tetapi sifatnya
hanya hak pakai. Begitu pula sebaliknya, jika harato pusako randah, itu secara
hukum adatnya boleh diperjual belikan.
"Makanya, saya mengajak
dalam penyelesaian konflik kita memahami tatanan hukum adat, hukum perdata dan
hukum agama. Apalagi, persoalan konflik tanah, yang dapat berpotensi atau dapat
menyebabkan konflik kekerasan, ini harus segera diselesaikan sejak dini,"
ajak Ferizal Ridwan. (Rahmat Sitepu)