Rupiah Anjlok ke Level Terendah Sejak 1998, RI di Ambang Krisis?


N3, Jakarta ~ The People's Bank of China (PBOC) mendevaluasi mata uang yuan selama tiga hari berturut-turut pada 11-13 Agustus 2015 masing-masing kurang lebih sebesar 2 persen. Langkah devaluasi ini sengaja dilakukan oleh PBOC.

Langkah yang dilakukan oleh PBOC tersebut bertujuan untuk mendorong ekspor di pasar global. Dengan nilai mata uang yang rendah, produk-produk dari China akan lebih murah dan bisa bersaing dengan produk dari negara lain.

China memang sedang berjuang mendorong ekspor untuk mendongkrak pertumbuhan ekonominya. Dalam beberapa tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi negara Tirai Bambu tersebut memang sedang tertekan.

Di tahun-tahun sebelumnya, pertumbuhan ekonomi China selalu berada di atas level 10 persen. Namun di tahun ini, pertumbuhan ekonomi China berada di bawah 10 persen. Bahkan di kuartal terakhir tercatat ekonomi China ada di level 7 persen.

"Seperti yang kita tahu, ini adalah langkah-langkah akhir dari negara tersebut untuk mengantisipasi melambatnya perekonomian," kata Khoon Goh, Analis Australia & New Zealand Banking Group Ltd. "Salah satu tujuan dari devaluasi adalah memperbaiki dan memungkinkan meraih lebih banyak basis pasar untuk rezim mata uang baru," tambah Goh.

Ekonom PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI), Ryan Kiryanto menjelaskan, pelemahan yuan tersebut sangat berpengaruh ke negara-negara di sekitarnya. Pasalnya, devaluasi yuan tersebut akan membuat persepsi pasar kepada mata uang di negara sekitarnya turun sehingga mereka mendiskon mata uang negara-negara Asia Pasifik.

Beberapa mata uang yang ikut turun dengan devaluasi mata uang China ini antara lain Korea Selatan, Australia dan Singapura yang mengalami penurunan lebih dari 1 persen. Indonesia pun ikut terdampak.

Setelah devaluasi yuan, rupiah melemah hingga menyentuh level 14.000 per dolar Amerika Serikat (AS). Level terendah yang pernah dicetak oleh rupiah dalam 17 tahun terakhir atau sejak 1998, di mana saat itu Indonesia sedang mengalami krisis moneter.

Sebenarnya, sebelum PBOC mendevaluasi mata uangnya, secara pelan, mata uang rupiah sudah tertekan. Jika dihitung sejak awal tahun, rupiah telah melemah 12 persen. Di awal tahun, rupiah masih berada di angka 12.545 per dolar AS. Sedangkan di akhir Agustus 2015, rupiah sudah menyentuh level 14.035 persen. Bahkan pada 26 AGustus 2015, rupiah sempat menyentuh level 14.133 per dolar AS.

Nah, jika sejak awal tahun, sentimen yang mendorong rupiah melemah sebenarnya tidak hanya devaluasi yuan saja namun karena adanya sentimen rencana kenaikan suku bunga yang akan dilakukan oleh Bank Sentral AS atau The Federal Reserve (The Fed).

Proses pemulihan ekonomi AS setelah krisis subprime mortgage telah terjadi. Terefleksi dari beberapa infikator makro ekonomi yang mulai membaik seperti angka pengangguran telah berada di level 5,2 persen. Selain itu, pertumbuhan ekonomi juga sudah mendekati 2 persen.

Dengan beberapa indikator ekonomi yang membaik tersebut, The Fed berencana untuk mengetatkan kebijakan moneter dengan menaikkan suku bunga yang saat ini masih berada di level mendekati nol persen.

Rencana kenaikan suku bunga ini tidak diantisipasi dengan baik oleh negara-negara berkembang seperti Indonesia. Alhasil, dana-dana yang tadinya lagi dari Amerika dan berlabuh di negara berkembang mulai kembali lagi ke AS. Hal ini membuat permintaan akan dolar AS menguat dan rupiah melemah.

Pelarian dana-dana ini diakui oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution. "Dari dulu kita sudah rentan kalau soal kurs rupiah, karena terlalu besar dana asing di dalam ekonomi kita," ujar dia.

Menurut Darmin, hal ini bisa terlihat dari kepemilikan asing pada Surat Utang Negara (SUN) Indonesia sebanyak 38 persen atau sama dengan negara tetangga, Malaysia. Namun lebih besar bila dibandingkan Thailand yang hanya mencatatkan 13-14 persen porsi kepemilikan asing pada surat utangnya.

"Begitu pula dengan saham di Indonesia, porsi asing lebih banyak lagi sampai 60 persen. Jadi kalau sebanyak itu asing, batuk sedikit atau asing keluar, kita goyah," terang Darmin.

Pengamat valuta asing (valas), Farial Anwar menambahkan, pelemahan rupiah tidak hanya semata-mata karena faktor eksternal. Faktor dalam negeri juga menjadi pendorong pelemahan rupiah. 

Harapan pasar dengan membaiknya perekonomian Indonesia belum juga menjadi kenyataan. Upaya reshuffle kabinet, diakuinya belum mampu memberikan dampak positif mengangkat ekonomi nasional.

"Yang ada justru konflik antara Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Sumber Daya, Menteri BUMN dan Wakil Presiden yang diangkat di media massa. Artinya semakin memberi kesan pemerintahan ini tidak mungkin bisa bekerjasama dengan baik. Malah menimbulkan masalah baru," ucap Farial.**
Previous Post Next Post