ENAKNYA JADI KORUPTOR

Oleh : Davip Maldian, S.Sos
Ketua YPKMI Padang

Dewasa ini, kata-kata koruptor merupakan kudapan paling enak untuk diperbincangkan. Dari birokrat, teknokrat, mahasiswa bahkan anak kecilpun hafal dengan kata-kata koruptor. Hal ini tentu tak terlepas dari terungkapnya berbagai kasus koruptor yang menggerogoti Negeri ini. Salah satunya pengungkapan kasus Gayus Tambunan, seorang berpangkat golongan III/a dengan masa kerja 9 tahun pada Dirjen Pajak, hidup bergelimang harta dan kemewahan dengan total kekayaan lebih kurang 104 milyar, ternyata telah mengkorupsi keuangan Negara.

Sebelum terlalu jauh kita mengungkapkan contoh kasus, alangkah baik memang kalau dipahami dulu apa itu kata Koruptor. Karena hampir setiap hari baik dari media cetak, televisi serta diwarung-warung kopi, selalu kata-kata koruptor (orang sebagai pelaku) atau korupsi (perbuatannya) ini berdengung. Namun ketika ditanya kepada mereka penjabarannya, sangat riskan sekali, hanya sekelumit dari mereka yang dapat mengerti kata koruptor ataupun korupsi.

Kata korupsi berasal dari bahasa latin corruptio yang mempunyai kata kerja corrumpere yang artinya busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik atau menyogok. Nah kalau didefenisikan secara umum yaitu suatu perilaku atau perbuatan yang tidak wajar dengan jalan melakukan suap, pemerasan, penggelapan dalam jabatan, pemberian hadiah, mempergunakan kekuasaan, dilakukan dalam rangka untuk kepentingan atau memperkaya diri pribadi atau orang lain yang mengakibatkan kerugian kepada Negara atau orang lain.

Sehingga, dampak negatif dari perbuatan sang koruptor, kemiskinan merajalela, angka pengangguran semakin tinggi, tingkat kriminalitas meningkat, rakyat kian melarat, sang keparat semakin kuat.

Nah, berkaca terhadap kasus Gayus Tambunan, sosok muda dengan otak brilian yang telah menggerogoi uang Negara puluhan Milyar, patut dijadikan tauladan. Mengapa tidak, karena sang koruptor dengan uang hasil korupsinya mampu membeli dan menyuap siapa saja. Dimana dari pemberitaan mass media, sebelum kasus ini terungkap, sang koruptor memang sering terjerat dengan kasus hukum. Apa lacur, setiap kali proses hukumnya masuk ke pengadilan, setiap kali itu juga kandas dan dimenangkan sang koruptor. Eh ternyata, usut punya usut, terungkap bahwa para oknum penegak hukum kepolisian, kejaksaan bahkan hakimpun telah turut andil menikmati hasil jerih payahnya.

Enak emang jadi koruptor, dengan kekayaan berlimpah, hukum dapat dapat dibeli, para penegak hukum bisa diatur. Apabila dijatuhi hukumanpun, hanya hitungan bulan atau paling banter empat tahun. Selain itu, fasilitas dan perlakuan khusus juga diterima sang koruptor di Lembaga Pemasyarakatan. Mereka diberikan sel tahanan khusus yang tidak bercampur baur bersama bandit-bandit kelas teri seperti pencopet, maling, pembunuh dan lain sebagainya. Dengan alasan agar mereka tidak stress serta tidak terkontaminasi virus-virus bandit kelas teri.

Semenjak semangat reformasi bergulir di Indonesia pada tahun 1997 pembalikan karakteristik tatanan politik yang telah terpola selama beberapa dekade. Sentralisme penyelenggaraan pemerintahan ingin dibalik menjadi tatanan yang desentralistik, dan otoritarianisme ingin dibalik menjadi tatanan pemerintahan yang demokratis. Meskipun keinginan untuk melakukan perubahan ke arah tersebut telah meluas, perubahan itu sendiri tidak bisa berjalan dengan sendirinya.

Persoalannya, dalam banyak kasus yang terungkap, justru pelaku koruptor ada pada pemerintah itu sendiri. Terlepas dari persoalan seberapa mendalam perubahan telah terjadi, yang jelas, panoramanya sudah berubah. Pada tataran formal berubahan sudah mulai merebak, namun pada tataran substantif perubahan masih belum signifikan. Adanya persoalan tarik ulur ini menjelaskan mengapa yang terjadi adalah reformasi setengah hati.

Masyarakat menaruh harapan besar terhadap reformasi birokrasi. Tantangan untuk mewujudkan sangatlah berat karena dua aras perubahan ingin direngkuh dalam “sekali dayung”. Maka dari itu, untuk mengantisipasi atau mengurangi para pelaku-pelaku koruptor tidak berurat berakar lagi, sebaiknya para pegawai negeri sipil baik dari golongan bawah hingga tingkat atas, harus melaporkan kekayaan mereka pada lembaga yang independen. Yang mana pada setiap triwulan akan dilakukan audit secara bersama dengan melibatkan LSM, Polri, BPK pihak perbankan dan KPK. Sedangkan hasil dari audit tersebut harus dipublikasikan pada mass media cetak dan elektronik.

Atau, apabila benar mereka merasa telah melakukan tindak pidana korupsi, maka diberikan kesempatan untuk mengakui perbuatannya, lalu dipublikaskan pada mass media. Kemudian pemerintah memberikan pengampunan, dengan memberhentikan secara tidak hormat oknum tersebut dari lembaga pemerintah, tentu sebelum ini dilakukan, semua harta bendanya harus disita dua kali lipat lebih besar dari hasil korupsi yang telah dilakukan.
Previous Post Next Post